FILSAFAT BAHASA

Dian Nuzulia

1. Pendahuluan

Bahasa dan filsafat merupakan dua sejoli yang tidak dapat dipisahkan. Mereka bagaikan dua sisi mata uang yang senantiasa bersatu. Minat seseorang terhadap kajian bahasa bukanlah hal baru sepanjang sejarah filsafat. Semenjak munculnya retorika Corax dan Cicero pada zaman Yunani dan Romawi abad 4-2 SM hingga saat ini, bahasa merupakan salah satu tema kajian filsafat yang sangat menarik.

Hadirnya istilah filsafat bahasa dalam ruang dunia filsafat dapat dikatakan sebagai suatu hal yang baru. Istilah ini muncul sekitar abad 20-an, sehingga wajar apabila ditemukan kesulitan untuk mendapatkan pengertian pasti mengenai apa sebetulnya yang dimaksud filsafat bahasa (Hidayat, 2006:12).

Masalah yang dibahas dalam tulisan ini, yaitu apakah filsafat bahasa itu dan apakah filsafat bahasa biasa itu serta apakah hermeneutika itu.. Penulisan ini bertujuan untuk memberikan penjelasan mengenai filsafat bahasa, filsafat bahasa biasa dan hermeneutika.

2. Filsafat Bahasa

Filsafat adalah suatu cara berpikir yang radikal dan menyeluruh, suatu cara berpikir yang mengupas sesuatu sedalam-dalamnya. Oleh karena sifat filsafat yang demikian maka filsafat sering diidentikkan dengan sesuatu yang membingungkan. Kadang kita mendengarkan orang mengatakan “Jawaban yang Anda ajukan benar-benar filosofis dan mengandung kedalaman arti, sehingga saya tidak memahami sedikit pun apa yang Anda maksud” Pitcher dalam buku “The Philosophy of Wittgenstein” halaman 193.

Hal ini mengibaratkan filosofis yang terlibat dalam upaya pemecahan masalah-masalah fundamental sebagai “seseorang yang terperangkap dalam kekacauan filsafat tak ubahnya dengan orang yang terjebak dalam sebuah ruangan, ia ingin keluar dari sana tapi tidak tahu bagaimana caranya. Dicobanya keluar melalui jendela tapi itu terlalu tinggi. Dicobanya pula keluar melalui cerobong tapi terlalu sempit” (Mustansyir, 1988: 11).

Filsafat bahasa adalah salah satu disiplin ilmu filsafat yang berhubungan dengan bahasa.  Persoalan yang tak ada habisnya dalam dunia filsafat membuat para filosofis mencari akar permasalahan. Dalam memandang masalah, mereka, menganggap bahwa akar masalah sebenarnya terletak pada bahasa. Beberapa filsuf seperti Carnap, Russel, dan Leibniz berpendapat bahwa kebenaran tidak dapat dapat dideskripsikan dengan benar karena kelemahan ada pada bahasa.

Bahasa tidak dapat mejelaskan sesuatu secara tepat dan akurat. Seperti kata keadilan, apa itu keadilan? Bagaimana mengukur keadilan?; Kata cantik misalnya, apa itu cantik?  Model yang bagaimana yang disebut cantik? Apa parameternya?. Bagaimana mengukurnya dan lain sebagainya. Bahasa tidak cukup memadai dalam mengungkapkan maksud-maksud filsafat (inadequate). Sebab bahasa mengandung kekaburan (vagueness), tidak jelas (inexplictness), berdwiarti (ambiguity), terikat konteks (contex-dependence), dan menyesatkan (misleading).

Kelompok filosofis lain seperti Wittgenstein dan Locke justru berpendapat sebaliknya, mereka menganggap bahwa yang membuat sesuatu rumit dan selalu membingungkan karena para filosofis keliru dalam merumuskan persoalan. Dengan kata lain, kelemahan ada pada pemakai bahasa. Berdasarkan hal tersebut maka lahirlah filsafat analitik. Para yang filosofis yang menaruh minat dalam bahasa digerakkan oleh keinginan mereka untuk memahami ilmu pengetahuan konseptual mereka, dalam mempelajari bahasa, bukan sebagai tujuan akhir melainkan sebagai objek sementara agar pada akhirnya dapat diperoleh kejelasan tentang hakikat pengetahuan konseptual (Kaelan, 1998:57).

3. Filsafat Analitik

Dalam sejarah filsafat barat diakui bahwa Inggris merupakan tempat yang paling subur bagi perkembangan empirisme, yaitu suatu aliran filsafat yang menganggap bahwa pengalaman adalah sarana yang paling dipercaya untuk memperoleh kebenaran. Pengaruh pemikiran mereka (Locke dan Hume) telah mendominasi corak filsafat Inggris pada khususnya dan filsafat barat pada umumnya.

Meskipun kubu empirisme yang secara penuh bertentangan dengan kubu rasionalisme–aliran filsafat yang lebih menitikberatkan akal untuk memperoleh kebenaran- pada akhirnya dipadukan oleh Immanuel Kant. Pengaruh pemikiran empirisme ini mulai memudar manakala gaung filsafat Heggel, Idealisme, mulai masuk ke Inggris pada pertengahan abad ke-19. Filsafat Heggel yang menguasai atau merajai dunia di seantero Eropa itu berhasil meluluhlantakan pengaruh pemikiran empirisme dikandangnya sendiri yaitu inggris.

Tetapi pada awal abad ke-20 iklim filsafat (khususnya di Inggris) mulai berubah. Para filsof Inggris mulai mencurigai atau meragukan ungkapan-ungkapan filsafat yang dilontarkan oleh kaum Hegelian (pengikut Hegel). Mereka menilai ungkapan filsafat idealisme bukan saja sulit dipahami tetapi juga telah menyimpang jauh dari akal sehat. Oleh karena itu, para  filsuf Inggris berupaya melepaskan diri dari cengkraman filsafat idealisme.

Revolusi yang ditiupkan oleh para filsuf tersebut yang cukup terkenal yaitu G.E. Moore segera disambut hangat oleh tokoh Cambridge lainnya Bertrand Russelstein. Melalui Wittgenstein inilah revolusi yang menentang pengaruh kaum hegelilan itu muncul metode filsafat yang baru yaitu metode analisa bahasa.

Metode analisa bahasa yang ditampilkan oleh Wittgenstein berhasil membentuk pola pemikiran baru dalam dunia filsafat. Dengan metode analisis bahasa itu tugas filsafat bukanlah membuat pernyataan tentang sesuatu yang khusus, melainkan memecahkan persoalan yang timbul akibat ketidakfahaman terhadap bahasa logika.

Metode filsafat bahasa inilah yang telah membawa angin segar ke dalam dunia filsafat (terutama di Inggris) karena kebanyakan orang menganggap bahasa filsafat terlalu berlebihan dalam mengungkapkan realitas. Begitu banyak istilah atau ungkapan yang aneh dalam filsafat (seperti : eksistensi, nothingness, substansi dan lain-lain) sehingga menimbulkan teka-teki yang mem-bingungkan para peminat filsafat (Mustansyir, 2001:17—27).

4. Filsafat Bahasa Biasa

Pengaruh filsafat analitik mulai melulu secara perlahan setelah lebih dari tiga dasarwarsa berpengaruh di Inggris. Sebab filsuf mulai menyadari bahwa metode analisis bahasa hanya mengarah pada pencarian makna bahasa, yang dapat menggiring mereka pada pernyataan tidak bermakna. Kemudian mereka mulai mengalihkan perhatian pada titik tolak belakang penggunaan bahasa biasa.

Kelompok ini beranggapan bahwa bahasa biasa cukup sesuai dengan maksud-maksud filsafat. Hanya filsuf menyalahgunakan istilah-istilah yang mengandung kepastian seperti “tahu”, “melihat”, “bebas”, “benar”, “sebab”. Istilah tersebut bukan hal asing dalam kehidupan sehari-hari, tetapi para filsuf sering “meninggalkan” penggunaan yang biasa dari istilah-istilah tersebut tanpa memberikan penjelasan sehingga istilah-istilah itu jatuh ke dalam teka-teki yang tak dapat dipecahkan (Mustansyir, 2001: 78—79).

Pendapat tentang cukup memadainya bahasa biasa bagi maksud filsafat mendapat dukungan yang kuat dari filsuf Oxford seperti Gilbert Ryle dan Austin. Oleh karena kekaburan makna terjadi disebabkan oleh pemakainya, maka mereka menjelaskan kaidah dan patokan pemakaian yang mendasari tingkah laku bahasa orang-orang yang tidak menyalahgunakan kebebasan linguistik yang ada. Selain itu, pengikut filsafat bahasa biasa memaparkan kaidah-kaidah yang sudah ada di dalam bahasa berdasarkan pemeriksaan dan laporan kekeliruan yang dilakukan para filsuf. Dengan kata lain, filsafat bahasa biasa lebih menekankan pada aspek pragmatik, yaitu bagaimana penggunaan suatu istilah atau ungkapan dapat mengandung arti.

5. Hermeneutika

Istilah hermeneutika berasal dari kata Yunani: hermeneuein, diterjemahkan “menafsirkan”, kata bendanya: hermeneia artinya “tafsiran”. Dalam tradisi Yunani kuno kata hermeneuein dipakai dalam tiga makna, yaitu mengatakan (to say), menjelaskan (to explain), dan menerjemahkan (to translate). Dari tiga makna ini diekspresikan dalam kata Inggris to interpret. Dengan demikian perbuatan interpretasi menunjuk pada tiga hal pokok: pengucapan lisan (an oral recitation), penjelasan yang masuk akal (a reasonable explanation) dan terjemahan dari bahasa lain (a translation from another language), atau mengekspresikan.

Hermeneutika merupakan sebuah filsafat yang memusatkan bidang kajiannya pada persoalan “understanding of understanding (pemahaman pada pemahaman)” terhadap teks, terutama teks Kitab Suci, yang datang dari kurun waktu, tempat, serta situasi sosial yang asing bagi para pembacanya. Istilah hermeneutika sering dihubungkan dengan nama Hermes, tokoh dalam mitos Yunani yang bertugas menjadi perantara antara Dewa Zeus dan manusia.

Dikisahkan, pada suatu saat, yakni ketika harus menyampaikan pesan Zeus untuk manusia, Hermes dihadapkan pada persoalan yang pelik yaitu : bagaimana menjelaskan bahasa Zeus yang menggunakan “bahasa langit” agar bisa dimengerti manusia yang menggunakan “bahasa bumi”. Akhirnya dengan segala kepintaran dan kebijaksanaannya, Hermes menafsirkan dan menerjemahkan bahasa Zeus kedalam bahasa manusia sehingga menjelma menjadi sebuah teks suci (Muslih, 2004:165—166).

Sebagai Pendekatan dalam Ilmu-Ilmu Sosial

Fokus utama problem hermeneutika sosial adalah untuk menerobos otoritas paradigma positivisme dalam ilmu-ilmu sosial dan humanities. Secara demikian pembahasan hermeneutika pada umumnya sebenarnya merupakan problem filsafat ilmu, bukan problem metafisika yang mempersoalkan realitas. Ini merupakan cara pandang untuk memahami realitas, terutama realitas sosial, seperti ‘teks’ sejarah dan tradisi. Wilhelm Dilthey yang mengajukan sebuah dikotomi antara metode erklaren untuk ilmu-ilmu alam dan metode verstehen untuk ilmu-ilmu sosial.

Metode erklaren (menjelaskan) adalah metode khas positivistik yang dituntut menjelaskan objeknya yang berupa perilaku alam menurut hukum sebab-akibat, sedangkan metode verstehen (memahami), yaitu pemahaman subjektif atas makna tindakan-tindakan sosial, dengan cara menafsirkan objek berupa dunia-kehidupan sosial. Sebagai sebuah pendekatan dalam ilmu sosial, hermeneutika tidak bisa dipisahkan dengan pendekatan fenomenologi. Fenomenologi sosial, dalam hermeneutika peranan subjek yang menafsirkan juga sangat jelas. Dunia kehidupan sosial bukan hanya dunia yang hanya dihayati individu-individu dalam masyarakat, melainkan juga objek penafsiran yang muncul karena penghayatan itu.

Untuk melihat peranan subjek dalam proses penafsiran akan dibahas secara ringkas pemikiran beberapa filsuf tentang hermeneutika, yaitu Schleiermacher, Dilthey dan Gadamer (Muslih, 2004:167—173).

1. F.D.E. Schleiermacher dan Wilhelm Dilthey

Dalam sejarah hermeneutika, dua filsuf ini biasanya dikenal dengan filsuf Romantik atau Hermeneutika Romantik, karena kecenderungan pemikirannya yang selalu melihat ke masa lalu. Menurut hermeneutika romantik ini, pembaca teks harus mampu berempati secara psikologis ke dalam isi teks dan pengarangnya; pembscs harus mampu ‘mengalami kembali’ pengalaman-pengalaman yang pernah dialami pengarang yang termuat di dalam teks itu. Agar bisa mengerti suatu teks dari masa lampau, teks sejarah misalnya, orang harus keluar dari zamannya dan membangun kembali masa lampau ketika pengarang teks itu hidup sehingga dapat dikenali dengan baik suasana penulisnya. Orang mesti membayangkan bagaimana pemikiran, perasaan dan maksud pengarang.

Untuk itu, menurut Schleiermacher, ada dua tugas dari hermeneutika, yaitu interpretasi gramatikal dan interpretasi psikologis. Aspek gramatikal merupakan syarat berpikir setiap orang, sedang aspek psikologis memungkinkan seseorang menangkap ‘setitik cahaya’ pribadi menulis. Dengan demikian untuk memahami pernyataan-pernyataan pembicara, orang mesti memahami bahasanya sebaik memahami jiwanya.

Berbeda dengan Schleiermacher, Wilhelm Dilthey (1833-1911) mengatakan bahwa meskipun orang tidak dapat mengalami secara langsung peristiwa-peristiwa di masa lampau, tetapi ia dapat membayangkan bagaimana orang-orang dulu mengalaminya. Hal yang dilakukan bukan empati terhadap pencipta teks, melainkan membuat rekonstruksi dan objektivikasi mental, yaitu produk budaya. Jadi, perhatian diarahkan pada struktur-struktur simbolis. Meskipun ada perbedaan pandangan, namun baik Dilthey maupun Scheiermacher sama-sama mempertahankan pendapat bahwa hermeneutika berarti ‘menafsirkan secara reproduktif’. Dalam arti, penafsiran merupakan sebuah kerja reproduktif; mencoba memahami sebagaimana dahulu pernah dipahami.

2. Hans-Georg Gadamer

Pemikiran hermeneutika Gadamer tidak bisa dilepaskan dari pemikiran Heidegger, senior, dan gurunya, yang pemikirannya dikenal dengan fenomenologi desain. Menurut Heidegger, Hermeneutika bukan sekedar metode filologi atau geisteswissenscharft, akan tetapi merupakan ciri hakiki manusia. Memahami dan menafsirkan adalah bentuk paling mendasar dari keberadaan manusia. Usaha Heidegger ini memperoleh respons positif dari Gadamer. Ia menaruh minat pada kajian tentang keterkaitan keberadaan manusia dan kemungkinan pemahaman yang bisa dilakukan.

Namun bagi Gadamer hermeneutika romantik masih menyisahkan persoalan, yaitu terutama: bagaimana orang dapat keluar dari situasi zamannya sendiri untuk masuk ke suasana zaman lain? Bagi Gadamer, merupakan hal yang mustahil orang yang bisa meninggalkan prasangka-prasangkanya, berikut situasi psikis, dan sosiologis yang mengitarinya, lalu masuk ke dalam suasana lain. Menurutnya, makna teks tidak terbatas pada pesan yang dikehendaki pengarangnya, karangan teks bersifat terbuka bagi pemaknaan oleh orang yang membacanya, meskipun berbeda dalam waktu dan tempatnya.

6. Penutup

Para penganut filsafat analitik menganggap bahasa logika lebih sesuai dengan maksud-maksud filsafat, sedangkan penganut filsafat bahasa biasa menganggap bahasa biasa cukup memadai bagi maksud-maksud filsafat. Hermeneutika merupakan sebuah filsafat yang memusatkan bidang kajiannya pada persoalan “understanding of understanding (pemahaman pada pemahaman)” terhadap teks, terutama teks Kitab Suci, yang datang dari kurun waktu, tempat, serta situasi sosial yang asing bagi para pembacanya.

Tinggalkan komentar